Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Memang, semula
kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang
bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan
Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh
Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone
(1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini,
menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam
bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan
antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia
(chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori
Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah
IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari
Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas
Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan
mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal
sebagai tes Stanford-Binet.
Selama
bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan,
namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba
kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus
menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan
bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat
kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Adalah
Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis
kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang
dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan
Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional
Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan
baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut
hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah
sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ
yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ
belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient
disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental
(mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat
dengan usia kalender (chronological age).
Terlepas
dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang
perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok
kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek
“non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas,
serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat
penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda
dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen,
kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan
dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk
meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan
berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah
berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan
intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih
berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti
kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi
vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun
manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya.
pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif,
dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa
di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa
pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat
(1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).
Brightman
(1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai
kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai
sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam
semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya
untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri
dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif,
secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin
Syamsuddin Makmun, 2003).
Temuan
ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang
dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang
dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God
Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat
spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan
otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer
menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi
pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup
kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara
bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya
terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian
tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan
Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha
memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan
istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)
Jauh
sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun
1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup.
Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia,
yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai
pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan
menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni
suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan
yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu
dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya.
Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis,
2005).
Di
Indonesia, penulis mencatat ada dua orang yang berjasa besar dalam
mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i
kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid – Bandung dengan Manajemen
Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam
bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual
Quotient (ESQ)-nya.
Dari
pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ
yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary
Ginanjar Agustian menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni
suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot
(fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan
bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan
format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness),
serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3)
Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha
untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan
merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha untuk
melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan
sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total
Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari
Ginanjar, 2001).
Berkembangnya
pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual
(SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas.
Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan
intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita
mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang
bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran
cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut
secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif
terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah
Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J.
Nicholl, 2002) .
Berkat
kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke
Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi dan
transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin
transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat
teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan
yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa
terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis
telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun
terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan
lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal,
mulai bermunculan, seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta
jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi
menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan
kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif).
Manusia
telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa teknologi” yang dapat
memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun
dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap
untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan
intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan
kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian,
apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti
Dinosaurus ?
Dengan
tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual,
ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan
tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu
cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan
bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan
pinter, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan
dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya
pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik
(calon pendidik)!
Sebagai
pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha
mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki,
melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning
to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk
memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada
akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang
sesungguhnya (real achievement).
Sebagai
pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang
profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha
membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap
potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan
proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ),
menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis
(problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia yang cageur, bageur, bener, tur
pinter.
sumber tulisan : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
No comments:
Post a Comment