Penanganan
siswa bernasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan
ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya.
Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib)
siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk
mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku
siswa. Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum”
yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan
penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan
utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan
perilaku yang terjadi pada para siswanya.
Oleh
karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu
pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan
disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek
jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru
lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai
layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah melalui
Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa
pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan
interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang
bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami
dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna
tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Secara visual, kedua pendekatan dalam menangani siswa bermasalah dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Dengan
melihat gambar di atas, kita dapat memahami bahwa di antara kedua
pendekatan penanganan siswa bermasalah tersebut, meski memiliki cara
yang berbeda tetapi jika dilihat dari segi tujuannya pada dasarnya sama
yaitu tercapainya penyesuaian diri atau perkembangan yang optimal pada
siswa yang bermasalah. Oleh karena itu, kedua pendekatan tersebut
seyogyanya dapat berjalan sinergis dan saling melengkapi.
Sebagai
ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang siswi yang
hamil akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah secara
tegas menyatakan untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan harus
dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin
tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang
tua/wali siswa yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan
dikembalikan kepada orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika
tanpa intervensi Bimbingan dan Konseling, maka sangat mungkin siswa yang
bersangkutan akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi
masalah-masalah baru yang justru dapat semakin memperparah keadaan.
Tetapi dengan intervensi Bimbingan dan Konseling di dalamnya, diharapkan
siswa yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran positif atas
masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko
yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang
dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya, keinginan
untuk melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski
ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari
sekolah.
Perlu digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru BK/Konselor yang
harus mendorong atau bahkan memaksa siswa untuk keluar dari sekolahnya.
Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang kepala sekolah, dan
tugas Guru BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat memperoleh
kebahagiaan dalam hidupnya.
Lebih
jauh, meski saat ini paradigma pelayanan Bimbingan dan Konseling lebih
mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan,
pelayanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa bermasalah tetap masih
menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua
masalah siswa harus ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam
hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah
berserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagaimana dalam
bagan berikut :
- Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
- Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.
- Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.
Secara visual, penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Dengan
melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan siswa
bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling tidak semata-mata
menjadi tanggung jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi dapat
melibatkan pula berbagai pihak lain untuk bersama-sama membantu siswa
agar memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara
optimal.
sumber : http://www.duniaedukasi.net/2010/05/penanganan-siswa-bermasalah-di-sekolah.html
saya hanya 6 kali terlambat ke sekolah malah bisa di keluarkan tuh dari sekolah.
ReplyDeleteterimah kasih sudah mampir ke blog ini ,
Deleteyaa sabar ajha :), mungkin gurunya kurang pengertian terhadap anda