Langit sudah gelap saat motorku kuparkirkan
di teras rumah. Motor bapak yang biasa diparkir di samping motorku
terlihat bertengker kokoh di depan pagar. Tidak biasa. Ada apa gerangan? Kulihat bapak keluar membawa tas jinjing besar dan sekantung merah besar.
“Apa itu, pak? Mau kemana?”
“Sepupumu dan tantemu akan bermalam di rumah
sakit malam ini.” Jawab bapak padat sambil menaikkan kantongannya di
motor bagian depan. Ia tampak kebingungan meletakkan tas jinjing
satunya.
“Aku ikut, ya, pak?”
“Ah, tidak usah. Kamu baru pulang. Istirahat saja di rumah.”
Kulihat bapak yang masih memakai seragam kantornya lengkap. Tidak adil. Dia juga baru pulang, kok.
“Sudah, aku ikut saja, pak.” Tegasku sambil
meraih tas jinjing dari tangan bapak dan langsung naik di boncengan
motor. Bapak kekeh ingin melerai.
“Biar dia ikut saja.” Seru mama yang menyaksikan sejak tadi. “Pak, kalau
tidak lekas sekarang bisa berabe. Jam 8 kunjungan udah gak boleh, loh.”
Motor pun melaju. Kali ini aku ada di boncengannya. Perjalanan ke rumah
sakit membutuhkan waktu 30 menit. Tas jinjing berbentuk balok itu
benar-benar besar dan terpangku di tengah. Kupaksakan pantatku untuk
dapat duduk normal tanpa disadari oleh bapak. Kubuka restleting tas itu
dan menemukan beberapa daster dan jilbab tanteku. Ada peralatan makan
dan sebuah alat mandi sepupuku juga. Di kantung kecil bagian depan tas
itu restletingnya sudah rusak. Hanya ditutup dengan jalinan benang dan
beberapa peniti besar seadanya. Tanpa kubuka pun ada robekan yang cukup
luas hingga masih dapat memperlihatkan isinya yakni sabun dan sebuah
odol.
“Pak, kok, tas kayak gini yang dibawa?”
“Itu tas yang disebutkan tantemu di telepon.”
“Bukannya tante itu banyak uang? Punya banyak
motor dan tanah di kampung. Gak mungkin, kan alasannya gak punya uang
buat beli tas yang lebih layak?” Tanyaku pada bapak semakin penasaran.
Kuingat juga ketika pertama kali datang ke rumah kami tante hanya
menggunakan sandal jepit dan pakaian seadanya. Padahal perjalanannya
dari Selayar hingga Makassar membutuhkan waktu seharian. Sangat kontras
dengan pakaian tanteku yang lain yang super, ehm, ‘menor’ padahal
perjalanannya cuma sejam dua jam.
“Tidak semua orang nyaman dengan bergaya, nak.” Jawab bapak simpel.
“Tantemu itu tidak peduli gaya. Di kampung kita itu tidak dibutuhkan.”
Motor berbelok masuk ke parkiran rumah sakit. Paha dan pantatku sakit akibat tekanan dari tas besar yang kupangku. Begini, nih kalau maksa ngikut. Tapi, kasihan bapak kalau mengurus semuanya sendiri. Badannya pun sudah letih bekerja seharian.
Perjalanan menuju kamar sepupuku kami
lanjutkan dengan bercanda ringan. Jalanan rumah sakit memang berbeda.
Entah mengapa kelihatan mengerikan meski pada kondisi yang riuh.
Pengunjung begitu banyak. Ramai juga rumah sakit ini. Maklum negeri. Semua pegawai negeri pasti dibawa ke sana.
Bapak berjalan agak miring mengangkat tas
jinjing berbentuk balok yang berat itu. Kakinya memimpin kami menuju
bangunan berlantai dua. Kami masuk. Hm, bau rumah sakit.. Tercium
tajam aroma obat dan desinfektan dimana-mana. Kamar sepupuku di lantai
dua. Mataku curi pandang ke beberapa kamar yang kami lewati. Di tiap
lemari besi, kursi, tempat tidur, semua tertulis ‘THT’. Ah..benar. Ini tempat khusus pasien perawatan masalah THT. Persis seperti kakak sepupuku.
Kami tiba di bangsal tempat kakak sepupuku
dirawat. Ruangannya terang. Tidak bau dan mengerikan seperti yang
kebayangkan tentang ‘bangsal’ selama ini. Ruangan itu cukup luas untuk
delapan pasien. Kuperhatikan satu persatu pasien. Mereka ada yang tua,
ada pula yang masih seumuranku. Wajah mereka kusam. Semuanya didampingi
keluarga. Ada yang sedang dikipas, ada yang mengaji, ada yang tidur, dan
ada yang tidak memiliki kegiatan dan hanya mengamatiku dan bapak yang
baru melangkah masuk. Mereka punya kesamaan. Mereka hitam legam dan
berambut sangat tipis. Mungkin efek radiasi dan kemoterapi yang mereka
terima selama pengobatan. Jadi, ini ruang khusus pengidap kanker? Dadaku
sesak ketika melihat kembali keadaan mereka. Ruangan itu memiliki
atmosfir yang sangat kuat. Atmosfir bertahan hidup. Atmosfir harapan
hidup yang sangat besar. Aku malu pada diriku yang sehat.
Tak kusadari langkah bapak sudah berhenti di
depan tempat tidur sepupuku. Mataku bertemu dengan tante. Ia duduk di
lantai tepat di samping tempat tidur anaknya. Tanpa karpet. Di lantai
dingin. Pakaiannya masih yang terakhir kulihat pagi tadi sebelum aku
berangkat ke kampus. Ia berdiri seraya tersenyum kepadaku.
“Tante makan siang apa tadi?”
Tanteku tertawa kecil, “Tadi sempat makan,
kok.” Tampaknya ia tidak makan tadi siang. Lagi. Beberapa kali ia
melewatkan makannya akhir-akhir ini. Kelihatannya nafsu makannya sudah
hilang.
“Ya sudah, sekarang tante makan malam, ya.
Mama tadi buat udang goreng kesenangan tante.” Seruku beranjak
mengeluarkan beberapa alat makan, “Nah, ini juga ada bubur buat kak
Anto.” Lanjutku mengeluarkan sekotak bubur hangat.
Bapak sudah selesai membereskan karpet dan
menyiapkan bantal untuk tempat tidur tanteku. Di samping bawah tempat
tidur anaknya. Kami bertiga duduk teratur di karpet kecil itu. Bapak
tampak menghibur tanteku. Kulirik sepupuku yang sedang berbaring. Ia
hanya memakai sebuah sarung. Tubuhnya seperti terbakar. Sangat hitam dan
kurus. Berbeda jauh dengan awal datangnya ia di rumahku. Ada dua infus
di samping tempat tidurnya. Satunya berwarna merah muda, satunya bening.
Beberapa hari ini dia tidak bisa lagi makan selain bubur. Lidahnya
bengkak. Bengkak yang parah. Di samping bantalnya ada ember hitam.
Sepupuku bangkit sedikit dan meludah di ember itu. Memang demikian.
Dokter memang mengatakan efek dari kemoterapinya adalah mual dan
salivasi, air liurnya banyak. Pemandangan ini sudah biasa kulihat
sebulan terakhir.
Selama kunjungan aku hanya diam dan
tersenyum. Tak banyak yang bisa kukatakan pada tante maupun sepupuku.
Saat itu pikiranku sibuk. Bagian informasi sudah mengarahkan pengunjung
untuk meninggalkan tempat. Setelah pamitan, aku dan bapak meninggalkan
ruang khusus pengidap kanker THT itu.
Agaknya bapak menyadari diamku sejak tadi.
“Kenapa diam, nak?” Tanyanya akhirnya.
Aku menggeleng.
“Tantemu kuat, kan?”
Aku menoleh ke arah bapak. Bapak tersenyum membalas keherananku terhadap ungkapannya barusan.
“Beberapa tahun lalu, kakaknya Anto meninggal
karena penyakit yang sama. Sayang terlambat ditangani. Kankernya sudah
merambat ke otak. Baru sebulan lalu kita ke Selayar menyaksikan taksiah
suaminya. Sekarang dia ada di Makassar menjaga anaknya yang sekarat
akibat penyebab kematian anak pertamanya. Dia kuat, kan?” Ucap bapak
lirih.
Aku tertegun. Benar yang dikatakan bapak.
Sosok tanteku itu kuat. Sangat kuat. Sosok yang kutahu selama ini. Ia
adalah wanita pekerja keras. Ia yang bekerja mencari uang. Sehari-hari
ia mengumpulkan semua hasil kebun orang kampung dan dibawanya ke kota
Benteng di Selayar. Tanahnya banyak. Ternaknya banyak.
Wanita seperti tanteku seakan tidak
membutuhkan laki-laki lagi. Mandiri. Mungkin sifat itulah yang
membuatnya menjadi sosok yang tidak begitu kusukai. Ia sangat pelit.
Beberapa kali bapakku, adiknya, ia remehkan. Bukan hanya bapak,
melainkan juga orang di kampung. Dan sifat itulah yang kuanggap menurun
pada anaknya yang sedang sakit sekarang. Sama pelitnya dan ditambah lagi
dengan sifat sombong. Mungkin karena pendidikannya yang tinggi
membuatnya dapat berbuat seenak jidat. Telah banyak orang yang
menggelengkan kepala dan mengelus dada mereka karena dua sosok itu.
Di satu sisi, aku tidak senang dengan
kedatangan mereka ke rumah kami. Namun di sisi lain, apa yang dapat
mereka perbuat tanpa keluarga kami. Keluarga yang sering mereka
lecehkan. Dulu.
Bila kuingat lagi tanteku, setiap makanan
yang disediakan mama, tapi tidak dimakannya. Kuingat lagi wajah cemasnya
beberapa waktu ketika anaknya dilarikan ke rumah sakit. Kuingat
tangannya yang kugenggam selama malam taksiah di Selayar. Dingin.
Sesekali ia menghapus air matanya saat memperhatikan ustad ceramah di
depan semua warga waktu itu. Ternyata ia bisa bersedih. Bagaimana pun juga ia seorang wanita. Makhluk yang sangat rapuh. Aku yakin saat itu dan saat ini ia sedang dalam ketakutan. Ketakutan ditinggalkan.
“Nak, Tuhan punya cara yang unik untuk menyadarkan hambanya yang
menyimpang. Mungkin sekarang mereka diuji agar sadar.” Aku masih diam.
Pikiran dan perasaanku masih sibuk beradu.
Aku di belakang bapak sepanjang jalan menuju parkiran rumah sakit. Selama itu aku menatap punggungnya dalam. Hei,
bapak, aku tidak habis pikir. Bagaimana bisa kau membuka lebar tanganmu
untuk saudara yang telah menzalimimu selama ini. Aku saja yang hanya
mengamati merasa sakit sampai sekarang. Bibir bawahku kugigit. Rasanya ingin kuteriakkan. Pak,
lihat dirimu. Tidak hanya sebagai bapak yang mudah dibodohi oleh anak
sendiri. Kau juga mudah diperguna oleh saudara dan keponakanmu! Aku tertunduk dan menahan air mataku.
Kurasakan tangan hangat bapak meraihku.
“Sedang apa, kamu? Ayo, cepat pulang. Mama
tidak ada yang temani sejak pagi. Pasti kesepian, tuh. Hehe..” cengir
bapak dan menarikku ke parkiran. Kali ini kami berjalan beriringan.
sumber :: http://wthlove.blogspot.com/2011/05/mothers-day.html
No comments:
Post a Comment