Monday, February 4, 2013

Petuah Mantan Maling

1341028834789102699
Ilustrasi/Admin (Shutterstock)
Hari belum siang benar, saat kegaduhan sudah menyeruak di telingan Hada.  Ada rasa jengkel Hada yang tak lagi mampu ditahan.  Hada pun bangun dan langsung menuju luar rumah.

“Ada apa ribut-ribut?” tanya Hada.
“Maling ketangkep, Pak Lurah,” kata Satiman yang bertugas sebagai komandan keamanan kampung Lembasari.
“Di mana malingnya?” tanya Hada yang sekarang memang sudah menjadi lurah di kampung Lembasari.
“Itu, di sana!” kata Satiman menunjuk jalanan yang tak begitu jauh dari rumah Pak Hada alias Pak Lurah.
Hada alias Pak Lurah pun berjalan tergopoh-gopoh menuju kerumunan orang yang ditunjuk Satiman.  Alangkah kagetnya Pak Lurah Hada saat melihat seoonggok manusia yang setengah pingsan sedang dihajar ramai-ramai itu.
Saat melihat kedatangan lurah Hada, kerumunan segera minggir.  Lurah Hada langsung mengurut dada.
“Apa yang dia curi?” tanya lurah Hada.
“Ayam,” jawab salah seorang dari kerumunan itu.
“Mana ayamnya?” tanya lurah Hada.
Seseorang dari kerumunan pun menunjukkan ayam kecil yang katanya mau dicuri.  Memang bukan ayam tapi masih anak ayam.
Singkat kata, maling itu pun dibawa ke rumah Pak Lurah Hada.  Pak Lurah menginstruksikan kepada Komandan Satiman untuk memanggilkan mantri dokter untuk mengobati maling yang terluka lumayan parah.
Setelah sadar dan sudah sedikit segar, lurah Hada menemui maling yang ketangkep itu.
“kenapa kau menjadi maling?” tanya Lurah Hada.
“Alasannya klise Pak Lur.  Untuk makan anak dan istri.  Mereka sudah semingguan tak makan daging ayam.  Kasihan anak dan istri saya kalau gizinya sampai kurang,” jawab maling sambil sekali sekali mengusap kepalanya yang benjol segede telor ayam kalkun.
“Cara bukan begitu,” bisik Lurah Hada.
“Terus bagaimana dong?” tanya maling yang ketangkep dan sampai cerita ini ditulis belum juga mau mengatakan nama sebenarnya sehingga penulis cerita hanya bisa mengatakannya sebagai maling yang ketangkep.
“Jadi maling itu sudah jadul.  Sudah banyak ditinggalkan.  Risikonya terlalu besar.  Sedangkan hasilnya hanya sedikit,” lanjut Lurah Hada.
“Terus bagaimana?” maling yang ketangkep semakin penasaran.
“Sekarang ini jamannya koruptor.  Saya dulunya juga maling.  Tapi maling yang sadar konteks dan sejarah.  Sehingga ketika sejarah sudah tak lagi bersahabat dengan profesi maling, maka saya pun berganti profesi,” petuah lurah Hada.
“Lho, pak lurah dulu maling?” tanya maling yang ketangkep dengan ragu.
“Iyo.  Saat maling gak keren lagi, aku bukannya jadi lurah.  Lurah itu bukan profesiku.  Karena aku masih setia pada jalur profesi lama.  Hanya ganti baju.  Kalau dulu maling, sekarang jadi koruptor.  Kalau tak percaya, coba kamu pikir saja.  Bagaimana mungkin aku bisa membangun rumah sebagus ini kalau hanya mengandalkan tunjangan sebagai lurah.  Bagaimana aku bisa menghidupi kedua istriku dengan tujuh anak kalau hanya mengandalkan tunjungan lurah.  Tak mungkinkan?
Tapi semua rakyatku telah aku kelabuhi.  Mereka menghormatiku sebagai lurah.  Padahal anggaran desa aku korupsi untuk kepentingan diriku sendiri.  Tapi aku tak pernah digebuki seperti kamu.  Karena aku bukan maling seperti kamu.  Maling yang kere.  Maling yang jadul.  Aku sekarang koruptor.  Koruptor yang dihormati.  Kalau boleh aku nasihati, berhentilah jadi maling.  Bergantilah jadi koruptor.  Koruptor yang terhormat.”
Sejak saat itu, tak terdengar lagi kabar si maling yang ketangkep.  Sampai suatu hari datang pejabat dari Jakarta yang akan meninjau kelurahan Lembasari untuk membangun sebuah mall.  Dengan diiringi pejabat kabupaten dan provinsi, pejabat dari Jakarta itu datang ke Lembasari.
Sambutan dilakukan dengan sangat meriah.  Pak Lurah Hada mengerahkan segalanya untuk kesuksesan acara penyambutan tersebut.
Dengan terbungkuk-bungkuk, lurah Hada menyalami pejabat dari Jakarta.  Saat itulah si pejabat membisiki lurah Hada.
” Masih ingat saya, Pak Lurah Hada?” tanya Pejabat itu.
“Siapa yah?” tanya lurah Hada.
“Aku maling yang Anda petuahi,” kata Pejabat itu.
“Oh, maling yang ketangkep!” kata lurah Hada agak keras.  Sehingga para ajudan pejabat itu langsung menelikung tangan lurah Hada.  Untung pak pejabat segera menyuruh dilepaskan.  Dan lurah Hada pun diajak naik panggung kehormatan.
sumber ::  http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/06/30/petuah-mantan-maling-474406.html

No comments:

Post a Comment